Uni Eropa Sepakat Atasi Sanksi Suriah: Momentum Baru Setelah Revolusi


 

Uni Eropa Sepakat Atasi Sanksi Suriah: Momentum Baru Setelah Revolusi

Dalam langkah diplomasi yang jarang terjadi, para pemimpin dari Barat dan Timur Tengah bertemu di Riyadh untuk membahas pencabutan sanksi terhadap Suriah, menyusul jatuhnya Presiden Bashar al-Assad bulan lalu. Pertemuan ini menjadi momen penting, di mana Uni Eropa menunjukkan keterbukaannya terhadap perubahan besar di kawasan tersebut.

Para menteri luar negeri Eropa sepakat mengadakan pertemuan lanjutan pada akhir Januari guna merancang peta jalan terkait pencabutan sanksi. Sanksi yang selama ini membebani ekonomi Suriah diharapkan dapat diringankan, terutama untuk memberikan ruang bagi pembangunan kembali negara tersebut.

Seruan Pencabutan Sanksi: Pesan Tegas dari Riyadh

Pangeran Faisal bin Farhan Al Saud, Menteri Luar Negeri Arab Saudi, menekankan urgensi pencabutan sanksi unilateral dan internasional yang telah memperlambat proses pembangunan dan rekonstruksi di Suriah. Ia mengatakan bahwa sanksi hanya memperburuk penderitaan rakyat Suriah, yang selama ini berjuang menghadapi harga barang kebutuhan pokok yang melambung tinggi serta keterbatasan akses terhadap energi dan layanan kesehatan.

Selain itu, Menteri Luar Negeri Suriah yang baru, Asaad Hassan al-Shaibani, menyuarakan harapan besar agar sanksi segera dicabut. Ia menekankan pentingnya langkah ini untuk mendukung pemerintahan transisi di bawah Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang tengah membangun kepercayaan rakyat pasca-revolusi.

Pendekatan Uni Eropa: Perubahan Strategi

Uni Eropa, melalui sejumlah menterinya, menggarisbawahi pentingnya pemerintahan Suriah yang inklusif dan menghormati hak asasi manusia, termasuk hak-hak perempuan dan minoritas. Annalena Baerbock, Menteri Luar Negeri Jerman, menyoroti bahwa meskipun sanksi terhadap sekutu al-Assad yang bertanggung jawab atas kejahatan perang harus tetap berlaku, pendekatan yang lebih "cerdas" diperlukan untuk meringankan beban rakyat Suriah.

"Penduduk Suriah membutuhkan hasil nyata dari transisi ini," ujarnya. Ia juga mendukung keringanan sanksi yang memungkinkan akses ke layanan perbankan dan pembangunan infrastruktur penting.

AS dan Komitmen Humanitarian

Amerika Serikat, melalui Wakil Menteri Luar Negeri John Bass, telah mengumumkan pengecualian sanksi selama enam bulan untuk transaksi kemanusiaan dengan lembaga pemerintah Suriah. Langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa bantuan internasional dapat mengalir tanpa hambatan.

Tantangan dan Harapan Baru

Analis menyoroti bahwa pencabutan sanksi bukan hanya soal kemanusiaan, tetapi juga kunci untuk rekonstruksi besar-besaran Suriah. Rob Geist Pinfold, dosen di King's College London, menjelaskan bahwa banyak sanksi yang bersifat sekunder, artinya pihak ketiga yang berbisnis dengan Suriah juga terkena dampaknya. "Ini menghambat masuknya dana internasional yang sangat dibutuhkan," tegasnya.

Pemerintahan baru di Suriah perlu menunjukkan kepada dunia bahwa revolusi membawa perubahan nyata. Namun, pengamat seperti Galip Dalay dari Chatham House mengingatkan bahwa bantuan Barat kemungkinan besar hanya terbatas pada aspek kemanusiaan, kecuali ada langkah konkret menuju pemerintahan yang lebih inklusif dan transparan.

Langkah Lanjutan

Pertemuan Riyadh menjadi awal dari serangkaian diskusi strategis antara Barat dan Timur Tengah. Negara-negara seperti Jerman, Italia, dan Prancis kini semakin vokal dalam mendorong perubahan kebijakan sanksi Uni Eropa terhadap Suriah. Dengan prioritas pada rekonstruksi dan stabilisasi kawasan, dunia menanti langkah berikutnya dari komunitas internasional untuk membangun kembali Suriah yang hancur akibat konflik berkepanjangan.

bersumber dari : aljazeera.com

0 Komentar